KEMARIN Minggu (6/12/2015) saya mengantar anak perempuan saya ujian kenaikan tingkat Tek Kwon Do di Gedung Gapensi Bantul. Berangkat pagi tanpa sarapan pagi merupakan siksaan bagi saya yang tidak tahan lapar. Terlebih lagi, ternyata di sekitar gedung tidak ada orang jualan sarapan pagi. Adanya bakso tusuk dan siomay versi anak-anak. Bertambah-tambah pula, tempat duduk tidak ada. Lengkap sudah pikirku.
Kira-kira pukul sepuluh, seorang tukang roti yang menjajakan roti merk terkenal masuk. Rupa-rupanya dia baru tahu kalau ada keramaian. Oleh karena itu, dia datangnya kesiangan. Sama-sama punya kepentingan; saya butuh menghilangkan jenuh, Pak Roti juga butuh teman ngobrol.
Tak kusangka, ternyata obrolan kami sampai ke satu tema, trading forex. Wow, pikirku. Aku yang blogger ini memang sering melihat iklan forex-forex-an di internet. Namun, sampai sebelum bertemu Pak Roti, aku tak kunjung ngerti apa itu forex.
Dengan menggebu-gebu dia menjelaskan, bermain forex itu mengasikkan. Bahkan, menurut penuturannya, dia adalah salah seorang "pelatih" perdagangan forex. Biasanya orang yang dilatih berhasil. Biasanya pula, mereka membayar 500 sampai 1 juta rupiah. Selama masa pelatihan, dia akan membantu anak didiknya. Ketika masa pelatihan selesai, si anak didik akan dilepas. Otomatis, setelah dilepas semua risiko ditanggung sendiri sebagai sorang yang mandiri.
"Bermain forex itu gampang," ujarnya dengan penuh keyakinan. "Kalau kita main, menang, teruskan beberapa saat. Tapi jangan rakus, jangan terlalu bernapsu. Jika sudah mendapatkan kemenangan, segeralah berhenti. Tidak mungkin kita menang terus. Jika kita main terus, dapat dipastikan, kita akan mendapati kekalahan," jelasnya.
Pak Roti mengatakan, jika ingin bermain lagi, esok hari. "Jika kalah, langsung hentikan. Jika menang, ya tunggu beberapa saat dan berhenti. Kemudian, lanjutkan esok hari."
Satu kata yang kupikirkan kemudian: JUDI. Benarkah? Entahlah, bukan itu fokus tulisan saya kali ini. Saya ingin menulis tentang Pak Roti yang politikus.
Politik Pak Roti
Pembicaraan kami meloncat ke sana ke mari, mulai tentang gerobak sampai tentang pasar. Mulai tentang negosiasi sampai kecaman. Begini kisahnya.
Soal gerobak, menurutnya gerobak yang digunakannya dipinjami oleh perusahaan. Beberapa tahun sekali gerobak itu diganti yang baru. Menurutnya, gerobak baru itu tidak enak, enaknya setelah beberapa bulan. Lagi pula, katanya, itu bukan gerobak benar-benar baru, "Masa gerobak baru las-lasannyA seperti itu," keluh Pak Roti.
Kendati mendapat gerobak secara gratis, menurutnya dia bertanggung jawab penuh atas keamanan gerobak. "Memang, kalau rusak bisa minta perbaikan gratis. Kalau hilang? Saya diminta mengganti empat juta," jelasnya.
Dari gerobak pindak ke pembicaraan tentang pasar. Pak Rotin mengeluhkan perjalanannya keliling kampung. Masyarakat terbiasa menawar, rotinya yang sudah dipatok harga pas itu tidak bisa ditawar. Jadilah Pak Roti mogok ngampung.
Bicara tentang kota, Pak Roti juga mengeluhkan sebuah lembaga pendidikan yang tidak mengizinkan anak didiknya jajan.
"Masa jajan tidak boleh? Itu hak asasi," katanya menggebu. "Nanti kalau ada undang-undang, kena mereka."
Aku berkerut mendengar penjelasannya. Belum seberapa, lebih berkerut lagi ketika mendengar penjelasan lanjutannya.
"Tindakan itu merugikan banyak orang. Kami, para pedang rugi. Kami punya hak berdagang. Mereka tidak punya hak menghalangi pasar kami," katanya meninggi.
Wah, ini, pikirku. Seperti para wakil rakyat itu. Wakil rakyat yang politikus itu. Mereka yang selalu bicara baik-buruk, untung-rugi, benar-salah, dari sudut pandang diri sendiri. Tidak peduli soaln pendidikan. Tidak peduli jika sekolah yang dimaksudnya sedang mendidik para siswanya untuk terbiasa jajan.
"Kecuali," lanjut Pak Roti, "kami menjual racun. Buktinya, kan tidak? Tidak ada yang keracunan. Jika ada yang keracunan, bolehlah sekolah melarang kami berjualan dengan alasan dagangan kami berbahaya," lanjutnya panjang lebar.
Aku mencoba menengahi. "Bisa jadi sekolahnya itu sedang mendidik anak didiknya untuk tidak jajan sembarangan," ungkapku.
Bisa jadi. Ada positif-negatifnya. TAPI, bla... bla.... bla....
Persis, pikirku. Persis para wakil rakyat kita. Mungkin suatu saat Pak Roti ini akan menjagokan diri menjadi wakil rakyat. Kita lihat saja.
-- Sabjan Badio, Blogger Jogja
Kira-kira pukul sepuluh, seorang tukang roti yang menjajakan roti merk terkenal masuk. Rupa-rupanya dia baru tahu kalau ada keramaian. Oleh karena itu, dia datangnya kesiangan. Sama-sama punya kepentingan; saya butuh menghilangkan jenuh, Pak Roti juga butuh teman ngobrol.
Tak kusangka, ternyata obrolan kami sampai ke satu tema, trading forex. Wow, pikirku. Aku yang blogger ini memang sering melihat iklan forex-forex-an di internet. Namun, sampai sebelum bertemu Pak Roti, aku tak kunjung ngerti apa itu forex.
Dengan menggebu-gebu dia menjelaskan, bermain forex itu mengasikkan. Bahkan, menurut penuturannya, dia adalah salah seorang "pelatih" perdagangan forex. Biasanya orang yang dilatih berhasil. Biasanya pula, mereka membayar 500 sampai 1 juta rupiah. Selama masa pelatihan, dia akan membantu anak didiknya. Ketika masa pelatihan selesai, si anak didik akan dilepas. Otomatis, setelah dilepas semua risiko ditanggung sendiri sebagai sorang yang mandiri.
"Bermain forex itu gampang," ujarnya dengan penuh keyakinan. "Kalau kita main, menang, teruskan beberapa saat. Tapi jangan rakus, jangan terlalu bernapsu. Jika sudah mendapatkan kemenangan, segeralah berhenti. Tidak mungkin kita menang terus. Jika kita main terus, dapat dipastikan, kita akan mendapati kekalahan," jelasnya.
Pak Roti mengatakan, jika ingin bermain lagi, esok hari. "Jika kalah, langsung hentikan. Jika menang, ya tunggu beberapa saat dan berhenti. Kemudian, lanjutkan esok hari."
Satu kata yang kupikirkan kemudian: JUDI. Benarkah? Entahlah, bukan itu fokus tulisan saya kali ini. Saya ingin menulis tentang Pak Roti yang politikus.
Politik Pak Roti
Pembicaraan kami meloncat ke sana ke mari, mulai tentang gerobak sampai tentang pasar. Mulai tentang negosiasi sampai kecaman. Begini kisahnya.
Soal gerobak, menurutnya gerobak yang digunakannya dipinjami oleh perusahaan. Beberapa tahun sekali gerobak itu diganti yang baru. Menurutnya, gerobak baru itu tidak enak, enaknya setelah beberapa bulan. Lagi pula, katanya, itu bukan gerobak benar-benar baru, "Masa gerobak baru las-lasannyA seperti itu," keluh Pak Roti.
Kendati mendapat gerobak secara gratis, menurutnya dia bertanggung jawab penuh atas keamanan gerobak. "Memang, kalau rusak bisa minta perbaikan gratis. Kalau hilang? Saya diminta mengganti empat juta," jelasnya.
Dari gerobak pindak ke pembicaraan tentang pasar. Pak Rotin mengeluhkan perjalanannya keliling kampung. Masyarakat terbiasa menawar, rotinya yang sudah dipatok harga pas itu tidak bisa ditawar. Jadilah Pak Roti mogok ngampung.
Bicara tentang kota, Pak Roti juga mengeluhkan sebuah lembaga pendidikan yang tidak mengizinkan anak didiknya jajan.
"Masa jajan tidak boleh? Itu hak asasi," katanya menggebu. "Nanti kalau ada undang-undang, kena mereka."
Aku berkerut mendengar penjelasannya. Belum seberapa, lebih berkerut lagi ketika mendengar penjelasan lanjutannya.
"Tindakan itu merugikan banyak orang. Kami, para pedang rugi. Kami punya hak berdagang. Mereka tidak punya hak menghalangi pasar kami," katanya meninggi.
Wah, ini, pikirku. Seperti para wakil rakyat itu. Wakil rakyat yang politikus itu. Mereka yang selalu bicara baik-buruk, untung-rugi, benar-salah, dari sudut pandang diri sendiri. Tidak peduli soaln pendidikan. Tidak peduli jika sekolah yang dimaksudnya sedang mendidik para siswanya untuk terbiasa jajan.
"Kecuali," lanjut Pak Roti, "kami menjual racun. Buktinya, kan tidak? Tidak ada yang keracunan. Jika ada yang keracunan, bolehlah sekolah melarang kami berjualan dengan alasan dagangan kami berbahaya," lanjutnya panjang lebar.
Aku mencoba menengahi. "Bisa jadi sekolahnya itu sedang mendidik anak didiknya untuk tidak jajan sembarangan," ungkapku.
Bisa jadi. Ada positif-negatifnya. TAPI, bla... bla.... bla....
Persis, pikirku. Persis para wakil rakyat kita. Mungkin suatu saat Pak Roti ini akan menjagokan diri menjadi wakil rakyat. Kita lihat saja.
-- Sabjan Badio, Blogger Jogja
Thanks for reading Tukang Roti yang Politikus | Tags: CATATAN
Next Article
« Prev Post
« Prev Post
Previous Article
Next Post »
Next Post »
0 komentar on Tukang Roti yang Politikus
Posting Komentar