Siska Yuniati
“Combien? Berapa? 220 juta orang?” tanya Mado dengan muka heran. Mungkin sulit baginya membayangkan negara dengan penduduk besar, karena dengan luas daratan yang lima kali lebih besar lebih besar dari Indonesia, Kanada hanya punya 30 jutaan penduduk.
“Combien? Berapa? 220 juta orang?” tanya Mado dengan muka heran. Mungkin sulit baginya membayangkan negara dengan penduduk besar, karena dengan luas daratan yang lima kali lebih besar lebih besar dari Indonesia, Kanada hanya punya 30 jutaan penduduk.
“Iya, penduduk kami sebanyak itu,” kataku menyakinkan dengan menuliskan angka 220 dan 6 angka nol di kertas.
“Dan kami punya 700-an dialek yang saling berbeda,”
kataku bangga. Mereka terkesima. Tujuh ratus. Ya, aku menuliskan angka 700 di
kertas besar-besar.
“Bagaimana kalian bisa bicara satu sama lain?”
“Kami punya bahasa persatuan, bahasa Indonesia.”
Ferdinand menggeleng-geleng kepala. “Magnifique! Luar biasa! Entah bagaimana kalian bisa mengajarkan 1 bahasa ke ratusan juta orang yang berbeda bahasa ibu, kami saja hanya dua bahasa, Inggris dan Prancis susah.” Untuk pertama kali aku sadar betapa hebatnya pencapaian Indonesia dengan satu bahasa persatuan. Sesuatu yang selama ini aku anggap biasa ternyata sangat hebat di mata orang asing (A. Fuadi, Ranah 3 Warna: 315)
Apa yang dipikirkan Alif (aku) dalam penggalan novel Ranah 3 warna, novel kedua dari trilogi Negeri 5 Menara tersebut mewakili pemikiran banyak orang. Setidaknya saya sendiri belum begitu menyadari bahwa Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan adalah anugerah tidak terkira.
Dialog tersebut terjadi di Quebec(Kanada), tempat Alif menjalani program pertukaran mahasiswa. Saat itu, Kanada menjelang Pemilihan Referendum. Kanada yang jumlah penduduknya 30 juta orang seperempatnya berbahasa Perancis. Penduduk yang berbahasa Perancis ini pun berniat untuk memisahkan diri. Alasan yang mendasar adalah perbedaan budaya dan bahasa
Bisa dibayangkan seandainya itu terjadi di Indonesia. Berapa suku yang akan memisahkan diri jika yang dijadikan alasan adalah budaya dan bahasa. Kenyataannya hal tersebut tidak pernah terjadi. Sejak Indonesia belum terbentuk, wilayah nusantara telah menjadikan bahasa Melayu sebagai lingua franca, "bahasa pengantar" atau "bahasa pergaulan" di suatu tempat di mana terdapat penutur bahasa yang berbeda-beda (http://id.wikipedia.org), hingga ditetapkannya sebagai bahasa persatuan pada konggres Pemuda II tanggal 28 Oktober 1928.
Sampai sekarang, kita masih menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi dengan berbagai suku bangsa. Mengguasai bahasa Indonesia, tentu mengikis rasa takut berinteraksi dengan saudara di lain pulau. Menjadi hal yang aneh ketika capaian tersebut dilupakan dan dianggap hal sepele. Lantas, kebanggaan akan bahasa persatuan pudar dan mencari identitas baru. Salah satunya merasa bangga dengan budaya lain (bahasa) yang dianggap lebih populer. Agaknya ini menjadi pekerjaan rumah bagi kita, ketika didapati banyak generasi muda yang lebih menyukai menggunakan bahasa prokem atau bahasa asing dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan penggunaan bahasa Indonesia dengan baik dan benar sendiri mulai diabaikan. Taruhlah dalam tayangan sinetron, dialog antartokoh cenderung menggunakan bahasa gaul dengan campuran bahasa asing. Padahal apa yang ditampilkan di senetron, terutama sinetron remaja memungkinkan akan menjadi model bagi penikmatnya.
www.pilarsulut.com |
Thanks for reading Mencintai Bahasa Indonesia lewat Sastra | Tags: CATATAN
Next Article
« Prev Post
« Prev Post
Previous Article
Next Post »
Next Post »