Sabjan Badio
Kabid Humas dan Informasi Yayasan Ar Raihan
sabjan[at]abasrin.com
Masih ingat kisah “Bang Maman dari Kali Pasir”? Ya, kisah yang menghebohkan Indonesia sejak beberapa bulan silam. Ketika itu, rakyat Indonesia pun beramai-ramai mencerca. Tak urung penulis, penerbit, penyunting, guru, sampai pengurus yayasan yang menaungi SD Angkasa IX pun terkena imbasnya.
Tak lama berselang, dunia pendidikan Indonesia kembali heboh. Jika yang pertama tentang kata-kata istri simpanan, yang kedua tentang buku porno yang masuk Sekolah Dasar. Lagi-lagi secara berjamaah masyarakat Indonesia mencerca. Tidak jauh berbeda dengan kasus istri simpanan, yang terkena imbasnya pun penulis, penerbit, penyunting, guru, kepala sekolah, sampai dinas pendidikan.
Apa yang sesungguhnya terjadi? Siapakah yang lalai dalam hal ini? Bambang Trim, seorang tokoh kepenyuntingan Indonesia, pernah menurunkan tulisannya di situs IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia), www.ikapi.org (19/4/2012). Dalam tulisan yang berjudul “Buruk Editing, LKS Dibelah” tersebut, Bambang Trim menanggapi kasus istri simpanan. Menurut penulis yang telah menghasilkan lebih dari seratus judul buku itu, kasus istri simpanan tidak lain sekadar keteledoran seorang editor.
Seperti kita ketahui, profesi editor atau penyunting bukanlah profesi yang lazim dicita-citakan oleh warga Indonesia. Bahkan, banyak di antaranya yang seolah terjebak sebagai editor, karena tidak mendapatkan pekerjaan lain. Maka, tidak mustahil jika sering terjadi penerbit merekrut editor yang awam dunia editorial. Tentang bagaimana menyunting buku, kerap hanya dipelajari “sambil jalan”.
Menurut Bambang Trim, seorang editor yang baik, paling tidak harus memperhatikan (1) keterbacaan dan kejelasan, (2) ketaatasasan, (3) kebahasaan, (4) ketelitian data dan fakta, serta (5) kelegalan dan kesopanan-kepatutan. Jika kita perhatikan, pada poin ke lima, jelas sekali tertera bahwa seorang editor harus memperhatikan masalah legalitas, kesopanan, dan kepatutan. Kosakata istri simpanan, saya kira bukanlah kosakata yang patut untuk seorang anak SD kelas dua. Seorang editor yang cermat dan mengerti akan tugasnya, pastilah tidak akan mengizinkan kosakata tersebut muncul dalam buku yang disuntingnya.
Ketika seorang editor menyadari bahwa ada materi yang seharusnya disunting, sudah menjadi kewajibannya memperbaiki. Jika kemudian dia merasa bahwa perbaikan tersebut terlalu berani dan dikhawatirkan menimbulkan pertentangan dengan penulis, hendaknya seorang editor mendiskusikannya dan bernegosiasi dengan penulis untuk mencari jalan terbaik.
Fokus seorang penulis dan editor jelas berbeda. Seorang penulis dalam menghasilkan karya terpusat kepada ide-ide. Oleh karena itu, seorang penulis sangat rentan—kendati secara profesional tetap saja tidak dibenarkan—terhadap kelalaian dalam pemilihan kosakata. Di sinilah seorang editor sangat dibutuhkan, di antaranya memperbaiki kosakata yang kurang pas.
Tidak Berfungsinya Sistem pada Penerbit
Awal 2006 sampai dengan 2009, saya sempat bergabung dengan beberapa penerbit buku. Lima tahun menggeluti dunia penerbitan telah menunjukkan kepada saya, bahwa sebuah lembaga penerbitan memiliki perangkat yang kompleks dan berlapis dalam usaha menghasilkan produk bermutu.
Sebelum menerbitkan buku, sebuah naskah akan ditelaah dulu; apakah sebuah naskah pantas diterbitkan atau tidak? Penelaahan ini tidak hanya dilakukan oleh satu orang, melainkan oleh tim. Jika dinyatakan layak, naskah diproses lebih lanjut, akan disunting hingga dipandang benar-benar layak. Setelah disunting, akan melalui proses desain, proses editing lagi, pemeriksaan oleh pejabat berwenang, hingga pembuatan dummy dan proses proofreader. Khusus buku pelajaran, bahkan harus melalui penelaan oleh BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan). Dalam penelaahan ini, yang diperiksa tidak hanya isi, kegrafikaan juga ditelaah. Jadi, jika ada gambar-gambar yang tidak layak, tentu akan tereliminasi.
Hanya saja, penelaahan tersebut belum menyentuh LKS (Lembar Kerja Siswa). Sampai saat ini, LKS adalah di antara media yang paling digemari para guru. Saya katakan media karena LSK sesungguhnya tidaklah serta-merta bisa disebut buku. Ada kriteria yang harus dipenuhi sehingga sesuatu disebut buku, di antaranya tentang batas minimal jumlah halaman (unesco.org, 19/11/1964). LKS digemari karena perannya “memanjakan” para guru dalam mengajar. Kehadiran LKS membuat guru tidak perlu lagi membuat tugas untuk siswa. Bahkan, saat guru tidak hadir pun LKS-lah yang sering dijadikan “guru” pengganti.
Berbeda dengan buku yang identik dengan penerbit bermodal besar. LKS kerap dikelola oleh penerbit dan percetakan yang bermodal pas-pasan. Bahkan, di antaranya ada yang termasuk dalam kelompok home industry. Dengan keterbatasan modal ini, tidak jarang tahapan penerbitan dipangkas. Proses editing dilakukan seadanya dan dilakukan orang-orang yang tidak selamanya berkompeten di bidangnya.
Proses masuknya LKS ke sekolah pun biasanya hanya antara sales dan guru yang bersangkutan. Ketika terjadi kesepakatan antara sales dan guru, LKS pun masuk sekolah. Tidak ada penelaahan panjang apalagi komprehensif. Pengadaan LKS menjadi hak “prerogatif” guru. Maka, wajar saja sebuah keteledoran sampai tak terlacak.
Bagaimana dengan Buku Porno?
Jika pada kasus LKS lebih dikarenakan keteledoran seorang editor (juga penulis dan guru tentunya), pada buku bisa jadi pun demikian. Masyarakat Indonesia “terkenal” dengan sifatnya yang pelupa dan mudah terhasut. Masyarakat Indonesia lupa bahwa buku berbeda dengan LKS. Sebuah buku telah melalui proses yang lebih panjang. Apalagi jika buku tersebut telah melalui proses penilaian dan penyaringan sebelum disebarkan ke sekolah-sekolah melalui DAK (Dana Alokasi Khusus). Oleh karena proses panjang tersebut, tingkat keteledoran selama produksi dapat lebih ditekan.
Di antara buku yang dilabeli porno adalah buku (lebih tepatnya novel) ketiga dari serial Akta, yaitu Ada Duka di Wibeng karya Jazimah Al-Muhyi. Menurut Ilham (kompasiana.com, 14/06/2012), Ada Duka di Wibeng adalah buku remaja. Karena tentang remaja, persoalan yang diangkat bertalian dengan kehidupan mereka. Mulai soal tawuran pelajar, geng, “virus” cinta yang didasarkan pada keterpesonaan fisik, hingga soal pemahaman dan pengetahuan remaja soal seks. Melaui serial Akta (Kelelawar Wibeng, Gendut Oke, Hitam…, dan Ada Duka di Wibeng) ini, nampak sekali niatan penulisnya untuk melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi ulang terhadap konstruksi awal atas tema-tema di atas. Proses rekonstruksi itu melalui dialog para tokoh. Sebagai sebuah novel, agar pesan yang disematkan tampil menarik dan elegan, kesadaran yang hendak ditumbuhkan dikemas melalui dialog.
Ketika dipenggal secara tidak tepat, inilah yang sering perseorangan bahkan media massa lakukan, bisa jadi ada kesan porno. Akan tetapi, sesungguhnya, dialog-dialog yang disajikan bisa jadi merupakan pengantar untuk menggiring pembaca pada kalimat-kalimat berikutnya, yaitu untuk penyadaran. Yang terakhir ini, sering tidak disampaikan ketika persoalan buku porno ini dibahas. Dengan begitu, masyarakat yang hanya membaca penggalan media tersebut otomatis akan terarah opininya untuk mengatakan buku tersebut porno.
Dalam keterangan persnya, Forum Lingkar Pena, organisasi tempat Jazimah dibesarkan, membantah jika buku Ada Duka di Wibeng porno. FLP mengakui buku tersebut tidak cocok untuk anak SD dan memang tidak ditujukan untuk anak SD. Lebih jauh lagi, dijelaskan bahwa kesalahan sebenarnya terjadi saat proses pengadaan. Buku yang jelas-jelas ditujukan untuk remaja tersebut oleh panitia dialokasikan untuk perpustakaan SD (anak).
Bukti bahwa Ada Duka di Wibeng bukan buku untuk SD adalah sebagai berikut. Pertama, Wibeng sendiri merupakan singkatan Widya Bangsa, nama sebuah SMA. Kedua, buku tersebut jelas dilabeli For Teenager, yang menunjukkan bukan untuk SD. Usia SD menurut catatan Wikipedia (wikipedia.org, 8/7/2012) adalah usia tujuh sampai dengan dua belas tahun. Sementara teenager adalah usia tiga belas sampai dengan sembilan belas tahun. Ketiga, buku tersebut pada awalnya terbit secara bersambung di Majalah Annida, sebuah majalah yang menurut Adawiyah (2009: 3) dirancang untuk usia tiga belas sampai dengan dua puluh tahun.
Apa yang Harus Dilakukan?
Ada dua kemungkinan besar yang bersebelahan diakibatkan berhembusnya permasalahan atas sebuah buku. Kemungkinan pertama, penulis dan penerbitnya diboikot masyarakat dan karyanya tidak laku lagi dijual. Kemungkinan kedua, masyarakat justru menjadi penasaran dan menjadikan buku yang dipermasalahkan semakin laris.
Baik kemungkinan pertama maupun kemungkinan kedua, bukanlah sesuatu yang harus dipertaruhkan atas terjadinya permasalahan pada sebuah buku yang beredar di sekolah. Permasalahannya, bagaimana semua elemen yang terlibat berbenah diri. Penulis berbenah diri, penerbit lebih hati-hati, dan panitia pengadaan buku, termasuk guru yang bersangkutan senantiasa meneliti dengan cermat buku-buku yang akan dialokasikan untuk siswa. Jika dipandang perlu, panitia pengadaan buku juga ditambah tim pembaca ahli eksternal yang bertugas menelaah ulang isi dan kesesuaiannya dengan jenjang sekolah yang menjadi sasaran pengadaan buku.
Kontrol orang tua pun tidak kalah penting di sini. Orang tua adalah sosok yang harus mengawal perkembangan dan proses pendidikan anak-anaknya. Saat ini, disinyalir banyak orang tua yang menganggap tanggung jawab pendidikan atas anak-anaknya cukup sekadar penyediaan dana dan fasilitas. Selebihnya urusan lembaga pendidikan. Sepantasnyalah orang tua ikut mengontrol asupan materi pendidikan untuk anak-anaknya.
Jika dengan kehati-hatian tersebut tetap timbul masalah, semua pihak hendaknya mencermati dengan bijak. Harus ditelaah, di mana letak kelalaiannya. Media massa adalah di antara lembaga yang berandil besar membentuk opini masyarkat. Oleh karena itu, sudah seharusnya pemberitaan disajikan secara berimbang. Sehingga, penulis tidak serta-merta dihakimi tanpa konfirmasi terlebih dahulu.
Hal yang sering dilupakan oleh masyarakat Indonesia, istilah istri simpanan dan pergaulan bebas bukanlah hal yang jarang muncul. Jika kita cermati, istri simpanan tidak sekadar dalam kata-kata, tetapi terpampang jelas pada adegan-adegan televisi yang tayang pada jam-jam belajar anak. Tidak hanya istri simpanan, kekerasan yang tak lazim, kekejaman yang menghinakan, dan adegan-adegan tak bermoral lain seolah menjadi menu wajib dalam sinetron-sinetron yang disiarkan melalui layar kaca kita.
Ketika kita risih terhadap bahasa yang tak pantas, sudah seharusnya kita mengantisipasi dan mengkritisinya secara komperehensif. Jika buku bermasalah, mengapa sinetron dan media lain tidak? Kita harus sadar bahwa permasalahan tidak hanya atas satu LKS dan satu buku atau novel. Banyak buku lain yang mungkin bermasalah. Selain buku juga ada media hiburan, media promosi, ada pula pergaulan yang tidak kalah berbahayanya. Jangan sampai kita sekadar “asyik melihat semut yang ada di seberang, sehingga gajah di pelupuk terabaikan”.[]
Kabid Humas dan Informasi Yayasan Ar Raihan
sabjan[at]abasrin.com
Masih ingat kisah “Bang Maman dari Kali Pasir”? Ya, kisah yang menghebohkan Indonesia sejak beberapa bulan silam. Ketika itu, rakyat Indonesia pun beramai-ramai mencerca. Tak urung penulis, penerbit, penyunting, guru, sampai pengurus yayasan yang menaungi SD Angkasa IX pun terkena imbasnya.
Tak lama berselang, dunia pendidikan Indonesia kembali heboh. Jika yang pertama tentang kata-kata istri simpanan, yang kedua tentang buku porno yang masuk Sekolah Dasar. Lagi-lagi secara berjamaah masyarakat Indonesia mencerca. Tidak jauh berbeda dengan kasus istri simpanan, yang terkena imbasnya pun penulis, penerbit, penyunting, guru, kepala sekolah, sampai dinas pendidikan.
Apa yang sesungguhnya terjadi? Siapakah yang lalai dalam hal ini? Bambang Trim, seorang tokoh kepenyuntingan Indonesia, pernah menurunkan tulisannya di situs IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia), www.ikapi.org (19/4/2012). Dalam tulisan yang berjudul “Buruk Editing, LKS Dibelah” tersebut, Bambang Trim menanggapi kasus istri simpanan. Menurut penulis yang telah menghasilkan lebih dari seratus judul buku itu, kasus istri simpanan tidak lain sekadar keteledoran seorang editor.
Seperti kita ketahui, profesi editor atau penyunting bukanlah profesi yang lazim dicita-citakan oleh warga Indonesia. Bahkan, banyak di antaranya yang seolah terjebak sebagai editor, karena tidak mendapatkan pekerjaan lain. Maka, tidak mustahil jika sering terjadi penerbit merekrut editor yang awam dunia editorial. Tentang bagaimana menyunting buku, kerap hanya dipelajari “sambil jalan”.
Menurut Bambang Trim, seorang editor yang baik, paling tidak harus memperhatikan (1) keterbacaan dan kejelasan, (2) ketaatasasan, (3) kebahasaan, (4) ketelitian data dan fakta, serta (5) kelegalan dan kesopanan-kepatutan. Jika kita perhatikan, pada poin ke lima, jelas sekali tertera bahwa seorang editor harus memperhatikan masalah legalitas, kesopanan, dan kepatutan. Kosakata istri simpanan, saya kira bukanlah kosakata yang patut untuk seorang anak SD kelas dua. Seorang editor yang cermat dan mengerti akan tugasnya, pastilah tidak akan mengizinkan kosakata tersebut muncul dalam buku yang disuntingnya.
Ketika seorang editor menyadari bahwa ada materi yang seharusnya disunting, sudah menjadi kewajibannya memperbaiki. Jika kemudian dia merasa bahwa perbaikan tersebut terlalu berani dan dikhawatirkan menimbulkan pertentangan dengan penulis, hendaknya seorang editor mendiskusikannya dan bernegosiasi dengan penulis untuk mencari jalan terbaik.
Fokus seorang penulis dan editor jelas berbeda. Seorang penulis dalam menghasilkan karya terpusat kepada ide-ide. Oleh karena itu, seorang penulis sangat rentan—kendati secara profesional tetap saja tidak dibenarkan—terhadap kelalaian dalam pemilihan kosakata. Di sinilah seorang editor sangat dibutuhkan, di antaranya memperbaiki kosakata yang kurang pas.
Tidak Berfungsinya Sistem pada Penerbit
Awal 2006 sampai dengan 2009, saya sempat bergabung dengan beberapa penerbit buku. Lima tahun menggeluti dunia penerbitan telah menunjukkan kepada saya, bahwa sebuah lembaga penerbitan memiliki perangkat yang kompleks dan berlapis dalam usaha menghasilkan produk bermutu.
Sebelum menerbitkan buku, sebuah naskah akan ditelaah dulu; apakah sebuah naskah pantas diterbitkan atau tidak? Penelaahan ini tidak hanya dilakukan oleh satu orang, melainkan oleh tim. Jika dinyatakan layak, naskah diproses lebih lanjut, akan disunting hingga dipandang benar-benar layak. Setelah disunting, akan melalui proses desain, proses editing lagi, pemeriksaan oleh pejabat berwenang, hingga pembuatan dummy dan proses proofreader. Khusus buku pelajaran, bahkan harus melalui penelaan oleh BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan). Dalam penelaahan ini, yang diperiksa tidak hanya isi, kegrafikaan juga ditelaah. Jadi, jika ada gambar-gambar yang tidak layak, tentu akan tereliminasi.
Hanya saja, penelaahan tersebut belum menyentuh LKS (Lembar Kerja Siswa). Sampai saat ini, LKS adalah di antara media yang paling digemari para guru. Saya katakan media karena LSK sesungguhnya tidaklah serta-merta bisa disebut buku. Ada kriteria yang harus dipenuhi sehingga sesuatu disebut buku, di antaranya tentang batas minimal jumlah halaman (unesco.org, 19/11/1964). LKS digemari karena perannya “memanjakan” para guru dalam mengajar. Kehadiran LKS membuat guru tidak perlu lagi membuat tugas untuk siswa. Bahkan, saat guru tidak hadir pun LKS-lah yang sering dijadikan “guru” pengganti.
Berbeda dengan buku yang identik dengan penerbit bermodal besar. LKS kerap dikelola oleh penerbit dan percetakan yang bermodal pas-pasan. Bahkan, di antaranya ada yang termasuk dalam kelompok home industry. Dengan keterbatasan modal ini, tidak jarang tahapan penerbitan dipangkas. Proses editing dilakukan seadanya dan dilakukan orang-orang yang tidak selamanya berkompeten di bidangnya.
Proses masuknya LKS ke sekolah pun biasanya hanya antara sales dan guru yang bersangkutan. Ketika terjadi kesepakatan antara sales dan guru, LKS pun masuk sekolah. Tidak ada penelaahan panjang apalagi komprehensif. Pengadaan LKS menjadi hak “prerogatif” guru. Maka, wajar saja sebuah keteledoran sampai tak terlacak.
Bagaimana dengan Buku Porno?
Jika pada kasus LKS lebih dikarenakan keteledoran seorang editor (juga penulis dan guru tentunya), pada buku bisa jadi pun demikian. Masyarakat Indonesia “terkenal” dengan sifatnya yang pelupa dan mudah terhasut. Masyarakat Indonesia lupa bahwa buku berbeda dengan LKS. Sebuah buku telah melalui proses yang lebih panjang. Apalagi jika buku tersebut telah melalui proses penilaian dan penyaringan sebelum disebarkan ke sekolah-sekolah melalui DAK (Dana Alokasi Khusus). Oleh karena proses panjang tersebut, tingkat keteledoran selama produksi dapat lebih ditekan.
Di antara buku yang dilabeli porno adalah buku (lebih tepatnya novel) ketiga dari serial Akta, yaitu Ada Duka di Wibeng karya Jazimah Al-Muhyi. Menurut Ilham (kompasiana.com, 14/06/2012), Ada Duka di Wibeng adalah buku remaja. Karena tentang remaja, persoalan yang diangkat bertalian dengan kehidupan mereka. Mulai soal tawuran pelajar, geng, “virus” cinta yang didasarkan pada keterpesonaan fisik, hingga soal pemahaman dan pengetahuan remaja soal seks. Melaui serial Akta (Kelelawar Wibeng, Gendut Oke, Hitam…, dan Ada Duka di Wibeng) ini, nampak sekali niatan penulisnya untuk melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi ulang terhadap konstruksi awal atas tema-tema di atas. Proses rekonstruksi itu melalui dialog para tokoh. Sebagai sebuah novel, agar pesan yang disematkan tampil menarik dan elegan, kesadaran yang hendak ditumbuhkan dikemas melalui dialog.
Ketika dipenggal secara tidak tepat, inilah yang sering perseorangan bahkan media massa lakukan, bisa jadi ada kesan porno. Akan tetapi, sesungguhnya, dialog-dialog yang disajikan bisa jadi merupakan pengantar untuk menggiring pembaca pada kalimat-kalimat berikutnya, yaitu untuk penyadaran. Yang terakhir ini, sering tidak disampaikan ketika persoalan buku porno ini dibahas. Dengan begitu, masyarakat yang hanya membaca penggalan media tersebut otomatis akan terarah opininya untuk mengatakan buku tersebut porno.
Dalam keterangan persnya, Forum Lingkar Pena, organisasi tempat Jazimah dibesarkan, membantah jika buku Ada Duka di Wibeng porno. FLP mengakui buku tersebut tidak cocok untuk anak SD dan memang tidak ditujukan untuk anak SD. Lebih jauh lagi, dijelaskan bahwa kesalahan sebenarnya terjadi saat proses pengadaan. Buku yang jelas-jelas ditujukan untuk remaja tersebut oleh panitia dialokasikan untuk perpustakaan SD (anak).
Bukti bahwa Ada Duka di Wibeng bukan buku untuk SD adalah sebagai berikut. Pertama, Wibeng sendiri merupakan singkatan Widya Bangsa, nama sebuah SMA. Kedua, buku tersebut jelas dilabeli For Teenager, yang menunjukkan bukan untuk SD. Usia SD menurut catatan Wikipedia (wikipedia.org, 8/7/2012) adalah usia tujuh sampai dengan dua belas tahun. Sementara teenager adalah usia tiga belas sampai dengan sembilan belas tahun. Ketiga, buku tersebut pada awalnya terbit secara bersambung di Majalah Annida, sebuah majalah yang menurut Adawiyah (2009: 3) dirancang untuk usia tiga belas sampai dengan dua puluh tahun.
Apa yang Harus Dilakukan?
Ada dua kemungkinan besar yang bersebelahan diakibatkan berhembusnya permasalahan atas sebuah buku. Kemungkinan pertama, penulis dan penerbitnya diboikot masyarakat dan karyanya tidak laku lagi dijual. Kemungkinan kedua, masyarakat justru menjadi penasaran dan menjadikan buku yang dipermasalahkan semakin laris.
Baik kemungkinan pertama maupun kemungkinan kedua, bukanlah sesuatu yang harus dipertaruhkan atas terjadinya permasalahan pada sebuah buku yang beredar di sekolah. Permasalahannya, bagaimana semua elemen yang terlibat berbenah diri. Penulis berbenah diri, penerbit lebih hati-hati, dan panitia pengadaan buku, termasuk guru yang bersangkutan senantiasa meneliti dengan cermat buku-buku yang akan dialokasikan untuk siswa. Jika dipandang perlu, panitia pengadaan buku juga ditambah tim pembaca ahli eksternal yang bertugas menelaah ulang isi dan kesesuaiannya dengan jenjang sekolah yang menjadi sasaran pengadaan buku.
Kontrol orang tua pun tidak kalah penting di sini. Orang tua adalah sosok yang harus mengawal perkembangan dan proses pendidikan anak-anaknya. Saat ini, disinyalir banyak orang tua yang menganggap tanggung jawab pendidikan atas anak-anaknya cukup sekadar penyediaan dana dan fasilitas. Selebihnya urusan lembaga pendidikan. Sepantasnyalah orang tua ikut mengontrol asupan materi pendidikan untuk anak-anaknya.
Jika dengan kehati-hatian tersebut tetap timbul masalah, semua pihak hendaknya mencermati dengan bijak. Harus ditelaah, di mana letak kelalaiannya. Media massa adalah di antara lembaga yang berandil besar membentuk opini masyarkat. Oleh karena itu, sudah seharusnya pemberitaan disajikan secara berimbang. Sehingga, penulis tidak serta-merta dihakimi tanpa konfirmasi terlebih dahulu.
Hal yang sering dilupakan oleh masyarakat Indonesia, istilah istri simpanan dan pergaulan bebas bukanlah hal yang jarang muncul. Jika kita cermati, istri simpanan tidak sekadar dalam kata-kata, tetapi terpampang jelas pada adegan-adegan televisi yang tayang pada jam-jam belajar anak. Tidak hanya istri simpanan, kekerasan yang tak lazim, kekejaman yang menghinakan, dan adegan-adegan tak bermoral lain seolah menjadi menu wajib dalam sinetron-sinetron yang disiarkan melalui layar kaca kita.
Ketika kita risih terhadap bahasa yang tak pantas, sudah seharusnya kita mengantisipasi dan mengkritisinya secara komperehensif. Jika buku bermasalah, mengapa sinetron dan media lain tidak? Kita harus sadar bahwa permasalahan tidak hanya atas satu LKS dan satu buku atau novel. Banyak buku lain yang mungkin bermasalah. Selain buku juga ada media hiburan, media promosi, ada pula pergaulan yang tidak kalah berbahayanya. Jangan sampai kita sekadar “asyik melihat semut yang ada di seberang, sehingga gajah di pelupuk terabaikan”.[]
REFERENSI
- Adawiyah, Rabiatul. 2009. Analisis Pemakaian Interferensi pada Rubrik Bianglala Majalah Annida. Medan: Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Sastra USU.
- Anonim. 1964. “Recommendation Concerning the International Standardization of Statistics Relating to Book Production and Periodicals”. Diunduh dari http://portal.unesco.org tanggal 27 Juli 2012.
- Anonim. 2012. “Sekolah Dasar”, diunduh dari http://id.wikipedia.org tanggal 27 Juli 2012.
- Ilham. 2012. “Asal Bunyi, Tak Baca Buku!”. Diunduh dari http://media.kompasiana.com tanggal 27 Juli 2012.
- Savitri, Setiawati Intan dan Rahmadiyanti Rusdi. 2012. “Siaran Pers Forum Lingkar Pena tentang Penarikan Buku yang Dituduh Porno”. Diunduh dari http://forumlingkarpena.net tanggal tanggal 27 Juli 2012.
- Trim, Bambang. 2012. “Buruk Editing, LKS Dibelah”. Diunduh dari http://www.ikapi.org tanggal 27 Juli 2012.
Thanks for reading Menelusuri LKS Tak Patut, Membedah Buku Porno | Tags: CATATAN
Next Article
« Prev Post
« Prev Post
Previous Article
Next Post »
Next Post »
0 komentar on Menelusuri LKS Tak Patut, Membedah Buku Porno
Posting Komentar