Sabjan Badio
Awas ada polisi! Kalau nangis terus,
nanti saya serahkan ke polisi! Itulah di antara kalimat-kalimat yang kerap
saya dengar ketika kecil. Dalam benak saya, seorang polisi adalah momok
menakutkan, seragamnya laksana hantu, senjatanya seolah setiap saat siap
menyalak memuntahkan peluru, mengantar seseorang meregang nyawa. Kesan tersebut
terus terbina hingga saya remaja, apalagi beberapa polisi yang saya temui
selalu arogan, membanggakan seragam dan senjata yang ada di pinggang. Pun di
jalanan, mereka seolah sang pemilik, penguasa, yang siap menghukum siapa pun
yang tidak taat.
Sampai
suatu ketika, saat itu saya melakukan perjalanan jauh menggunakan bis. Setiap
memasuki teriminal, saya selalu ketakutan dengan para calo, dengan tukang
becak, tukang ojek, sopir taksi, dan semua penghuni terimal yang begitu
agresif. Sedikit saja mereka tahu tujuan saya, akan langsung ditarik mengikuti,
tidak peduli saya setuju ataupun tidak. Kerap saya harus membayar lebih mahal
karena kadung mengikuti tarikan mereka.
Tidak
mau selalu menjadi bulan-bulanan, saya pun mencari akal. Saya teringat, hampir
di setiap terminal ada pos polisi, paling tidak ada polisi yang berjaga.
Mengetahui hal itu, saya pun langsung mengabaikan tawaran para calo ketika akan
naik bis, mengabaikan tawaran tukang becak, tukang ojek, dan taksi ketika turun
dari bis. Saya pura-pura tidak mendengar tawaran mereka sembari terus berjalan
mencari pos polisi. Tahu saya mendekat pos polisi, biasanya para calo, tukang
becak, tukang ojek, dan sopir taksi akan mundur selangkah demi selangkah.
Mereka membiarkan saya masuk dengan tenang ke pos polisi dan berkomunikasi
dengan damai di sana.
Lazimnya,
Pak Polisi akan langsung menyambut dengan senyuman. Bahkan, yang berkumis tebal
dan berwajah sangar pun langsung berusaha untuk tersenyum. Kadang, lucu juga
menyaksikannya, cukup membuat hati saya—yang semula dongkol karena
diikuti—menjadi tersenyum kembali. Pak Polisi yang saya temui langsung bersiap,
yang duduk membungkuk langsung menegakkan dada, yang santai langsung siaga,
sembari mengucapkan: Selamat pagi, siang,
sore, atau malam. Kata berikutnya yang sangat saya suka: Ada yang bisa kami bantu?
Lega
rasanya, seolah mengadu kepada ibu sendiri. Saya pun bertanya ini-itu, tentang
daerah, tentang bis, tentang ojek, tentang becak, tentang taksi, tentang
tarif-tarifnya. Para polisi itu ternyata benar-benar siaga, seperti yang
terlihat dari sikapnya. Setelah menjawab semua pertanyaan, mereka pun berdiri,
berjalan memanggil jasa transportasi yang saya butuhkan. Otomatis, karena
polisi yang memanggil, para penawar jasa itu tidak ada yang berani macam-macam,
tarif yang ditetapkan adalah tarif wajar.Tentu saja saya sangat berterima kasih
untuk semua itu.
Itu
cerita ketika remaja.Setamat SMA, saya kuliah di Yogyakarta. Kuliah di sana
memiliki cerita sendiri, tak jarang kami harus jalan kaki sebab angkutan mogok
karena memprotes sesuatu. Biasanya angkutan beroperasi pada pagi hari dan
penduduk beraktivitas seperti biasa. Siangnya, saat akan pulang, kami pun
kebingungan karena kendaraan umum mogok semua. Saat-saat seperti itu, yang kami
tunggu biasanya mobil-mobil polisi, baik truk maupun kendaraan lain. Lumayan,
daripada berjalan kaki.Tidak jarang mobil polisi yang ada tidak mencukupi untuk
mengangkut semua penumpang. Jika sudah begini, ya terpaksa berjalan kaki.
Setamat
kuliah, saya tinggal di Bantul, menikah dengan penduduk lokal. Saya ingat
ketika istri saya mengandung anak pertama. Di lampu merah sebuah perempatan dia
berhenti, akan tetapi lain dengan becak yang di belakangnya. Tukang becak
tersebut langsung saja menyeruduk sepeda motor istri saya sehingga terjatuh.
Pak Polisi yang menyaksikan kejadian itu langsung turun tangan membantu mengangkat
sepeda motor istri saya yang rebah. Tak urung tukang becak langsung “disemprot”
karena melanggar rambu lalu lintas—di Jogja memang banyak tukang becak yang
melanggar lalu lintas karena merasa aman dan merasa tidak akan ditilang.
Di
lain waktu, istri saya serempetan dengan kendaraan lain di Jalan Parangtritis
Bantul. Dia jatuh dan luka-luka.Berdasarkan cerita, Pak Polisi yang datang
tergopoh mengambil semua identitas mereka, baik istri saya maupun “lawannya”. Mengetahui
istri saya cidera, lebih tergopoh lagi Pak Polisi, dia langsung memacu
kendaraannya menuju puskesmas. Pak Polisi turun dari kendaraan memeriksa
puskesmas yang terlihat sepi, ternyata memang sudah tutup. Sigap Pak Polisi
menghidupkan kendaraannya lagi dan memacunya ke utara, menuju RS Patmasuri Krapyak.
Memasuki
halaman rumah sakit, klakson dibunyikan, para perawat berlarian dan menyambut
dengan sigap. Tahu korban telah ditangani, Pak Polisi langsung memacu
kendaraannya, pergi. Tak lama kemudian, kami datang dan istri saya pun diperbolehkan
keluar dari rumah sakit. Kami pun menuju pos polisi, memeriksa kendaraan.
Di
sana Pak Polisi yang tadi menangani istri saya ternyata telah siaga. Segala
sesuatu telah disiapkan, “si lawan” serempetan berada di dekatnya. Mulanya
istri saya sempat berburuk sangka karena Pak Polisi langsung ngeloyor pergi
meninggalkan istri saya di rumah sakit, ternyata kepergiannya itu untuk kembali
ke lokasi dan mengurus segala sesuatunya. Dilakukan “sidang” singkat, karena
semua surat-menyurat lengkap, kendaraanboleh dibawa pulang. Hanya saja, karena
istri saya mengalami luka-luka, Pak Polisi menyiapkan surat perjanjian terhadap
“lawan” serempetan istri saya. Isinya tentang kesanggupan untuk ikut
bertanggung jawab jika di kemudian hari terjadi sesuatu dengan istri saya. Karena
istri saya tidak menghendaki perjanjian tersebut, kami pun pulang dengan damai.
Terima kasih Pak Polisi.
Itu
adalah sedikit pengalaman saya selama berurusan dengan polisi. Sama sekali
tidak terbukti apa yang saya takutkan selama ini, pun tidak terbukti kinerja
buruk polisi yang banyak didengungkan di berbagai media oleh banyak kalangan. Jujur,
saya ingin mengatakan, jika ada orang yang hanya bisa menilai polisi sebagai
institusi yang buruk belaka, itu namanya tidak tahu terima kasih. Kekhilafan,
kecelakaan, kelalaian, mungkin saja terjadi pada siapa pun, tak terkecuali pada
diri polisi. Biasanya hal tersebut dialami, terjadi, ataupun dilakukan oleh
oknum tertentu, sehingga tidak bisa generalisasikan, melainkan harus dinilai
secara objektif.
Kemudian,
saya sadari beberapa teman saya menjadi polisi. Mereka begitu ramah, suka
bergurau dengan anak saya, tak kalah ramahnya dengan teman-teman lain. Setiap
saya mengantar anak sekolah dan menyeberang Jalan Bantul, Pak Polisi dan Ibu
Polisi selalu membantu menyeberangkan, maklum Jalan Bantul pada pagi hari
lumayan ramai. Hingga suatu ketika, anak saya membawa buku tulis berlogo
Polri. Di halaman depan ada gambar Kapolri.
Saya
tanya kepada anak, tentang asal-usul buku tersebut. Anak saya pun dengan
semangat menceritakan. Dia baru saja bertemu dengan Pak Polisi dan Bu Polisi,
mereka bahkan berkesempatan memegang senjata Pak Polisi, berkesempatan bertanya
ini dan itu, diajari cara menyeberang jalan, dan diajari hal-hal lain. Saya pun
sadar, masanya sudah berbeda, Pak Polisi tidak lagi tampil menakutkan seperti
dulu, lebih kepada disegani sebagai aparat penegak hukum. Mungkin, kunjungan
Pak Polisi ke taman kanak-kanak tersebut adalah diantara program masyarakat
sadar hukum, sejak dini. Sehingga, masyarakat akan benar mematuhi hukum atas
kesadarannya, bukan karena takut ada polisi. Dan, Pak Polisi pun tidak perlu
lagi menggunakan kesangaran wajahnya untuk menghadapi masyarakat.
Penasaran
dengan hal itu, saya pun mencoba browsing,
mencari informasi tentang polisi, mengunjungi www.polri.go.idi, mengunjungi
www.propam.polri.go.id, dan mengunjungi situs-situs lain untuk mengetahui
perkembangan polisi saat ini. Saya pun mendapatkan bahwa salah satu program Propam
Polri dalam yang tertuang dalam Renstra Propam Polri 2010-2014 adalah Coordination Role (Kemitraan).
Dalam
program kemitraan tersebut, Polri akan meningkatkankerjasama eksternal dengan
seluruh pihak terkait, baik Kompolnas, LSM, media, maupun pihak-pihak lain.
Program tersebut bertujuan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap standar
profesi polisi, meningkatkan kontribusi masyarakat dalam mencegah terjadinya pelanggaran
oleh polisi, meningkatkan akses masyarakat untuk menyampaikan pengaduan pelanggaran
polisi,dan meningkatkan tindak lanjut penyelesaian pelanggaran polisi.
Mungkin
saja, program kemitraan Propam Polri dalam pengawasan anggota polisi dan
program kemitraan Polri secara keseluruhan dalam usaha melancarkan tugas-tugas preemtif
dan preventif Polri untuk meningkatkan kesadaran dan kepatuhan hukum masyarakat
inilah di antara yang berperan banyak atas kelancaran tugas-tugas Polri. Sehingga,
di tengah keadaan yang cenderung labil, meningkatnya tindak kejahatan,
meningkatnya aksi terorisme, keadaan masyarakat justru terlihat stabil dan aman
damai.
Dalam
suasana damai ini, saya dapat kembali mengenang kata-kata yang sering terdengar
waktu kecil: Awas ada polisi! Akan
tetapi, awas polisi kali adalah awas ada
Briptu Norman Kamaru yang menghibur,awas
ada Briptu Eka Frestya dan Brigadir Avvy Olivia yang murah senyum dalam upaya manjalankan
tugas polisi, setia melayani masyarakat.***
Juara Harapan I Lomba Menulis Artikel HUT Bhayangkara Polri 2011 yang diselenggarakan oleh Divisi Propam Mabes Polri 2011.
Thanks for reading Awas Ada Polisi! | Tags: CATATAN
Next Article
« Prev Post
« Prev Post
Previous Article
Next Post »
Next Post »